PONTIANAK – Pemerintah Kota Pontianak terus menunjukkan komitmennya dalam melestarikan bahasa daerah melalui penyelenggaraan Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) 2025. Kegiatan yang diinisiasi oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Pontianak ini menyasar pelajar tingkat SD/MI dan SMP/MTs se-Kota Pontianak sebagai peserta utama.

Festival ini digelar sebagai langkah strategis dalam merawat eksistensi Bahasa Melayu Pontianak yang mulai terpinggirkan oleh dominasi bahasa nasional dan asing di era digital saat ini. Melalui UPT Pusat Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Bahasa, FTBI 2025 menghadirkan berbagai jenis perlombaan yang memadukan unsur kebahasaan dan budaya lokal.

Kepala Disdikbud Kota Pontianak, Sri Sujiarti, menegaskan pentingnya melibatkan generasi muda dalam upaya pelestarian bahasa daerah. “Festival ini bukan hanya soal lomba, tapi bentuk nyata kita menanamkan rasa cinta dan bangga terhadap Bahasa Melayu Pontianak sejak dini,” ujarnya pada Jumat (13/6).

Adapun cabang lomba yang digelar meliputi pidato, mendongeng, berpantun, melucu, hingga tundang (pantun yang diiringi gendang), semuanya dalam Bahasa Melayu Pontianak. Dengan ragam lomba ini, anak-anak diajak untuk tidak sekadar belajar bahasa daerah, tetapi juga menghidupkannya dalam ekspresi seni dan budaya.

Pendaftaran untuk seluruh perlombaan dibuka secara gratis. Informasi lebih lanjut dapat diperoleh melalui akun Instagram resmi @pusatiptekdanbahasa_pontianak, baik di unggahan maupun tautan pada bio akun.

Festival ini juga menjadi bagian dari rangkaian program Revitalisasi Bahasa Daerah yang terus didorong oleh pemerintah kota. Tahun lalu, Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono bahkan menerima penghargaan dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI, Abdul Mu’ti, atas keberhasilannya dalam mendukung pelestarian bahasa daerah.

Dengan adanya FTBI 2025, diharapkan warisan budaya ini tak hanya dikenang, tapi terus hidup dalam keseharian generasi muda Pontianak.

“Kalau bukan kita yang merawat bahasa leluhur, siapa lagi? Jangan sampai Bahasa Melayu Pontianak hanya tinggal kenangan di buku sejarah,” pungkas Sri Sujiarti.

Bagikan: