SARAWAK – Di atas panggung sederhana namun penuh makna di Pustaka Negeri Sarawak, suara merdu Jumadi Gading menggema, membacakan syair gulung berjudul Kasih Sayang Ayah dan Ibu Tidak Terbalas. Syair itu bukan sekadar rangkaian kata, melainkan gema cinta dari tanah Kayong Utara yang melintasi lautan, merasuk ke hati para pendengarnya di Negeri Jiran.

Malam itu, bukan hanya puisi yang dipersembahkan. Tapi juga jembatan rasa antarbangsa, yang dibangun dari kata-kata, musik, dan cinta orang tua. Sebuah malam yang membuktikan bahwa sastra tak pernah mengenal batas. Dan bahwa dari sudut kecil Kalimantan Barat, suara bisa menggema jauh hingga ke hati-hati di Miri.

Festival Puisi Kota Miri 2025 menjadi ruang temu berbagai budaya, bahasa, dan rasa dari penjuru Asia Tenggara. Di tengah parade puisi tradisional, lagu etnis, dan tarian khas, penampilan Jumadi menyajikan sesuatu yang berbeda, warisan lisan dari Kalimantan Barat yang kini jarang ditemukan, syair gulung.

Bersama denting gambus dari Arif Surdandi, seniman muda dari Telok Melano, Jumadi mengenakan baju Melayu hitam. Ia tidak hanya membacakan syair, tetapi menghidupkannya. Sebuah ayunan bayi diletakkan di sisi panggung, bukan sekadar properti, melainkan simbol kehangatan dan kasih orang tua yang menjadi inti kisah dalam syair.

“Syair ini kami angkat dari karya guru kami, Mahmud Mursalin, seorang maestro syair gulung dari Kayong Utara,” ujar Jumadi usai tampil.

Saat bait-bait syair mengalir, suasana menjadi hening. Beberapa penonton menyeka air mata. Mereka larut dalam kisah yang begitu akrab, begitu manusiawi, terlepas dari batas negara dan budaya.

“Ia bercerita tentang cinta ayah dan ibu yang tak terbalas, pengorbanan yang diam-diam namun besar artinya,” jelasnya.

Jumadi mengungkapkan rasa syukurnya atas kesempatan ini. “Kami hanya membawa suara dari kampung kami, dari generasi yang terus mencoba menjaga budaya. Terima kasih kepada Bupati Kayong Utara, DBP Malaysia, dan para sahabat sastra yang telah membuka ruang bagi kami,” katanya.

Festival ini sendiri merupakan bagian dari perayaan Hari Kota Miri ke-20. Didukung oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, Perpustakaan Negeri Sarawak, dan berbagai lembaga pendidikan serta budaya, acara ini tidak hanya menjadi ajang unjuk kebolehan seni, tetapi juga tempat merawat bahasa dan identitas bersama.

“Penampilan seperti ini penting, karena ia membawa kita kembali pada akar. Syair gulung tidak hanya menghibur, tapi juga mendidik dan menyentuh hati,” kata Abizai, sastrawan kenamaan Sarawak, yang turut hadir malam itu.

Bagikan: