PONTIANAK – Kota Pontianak kini menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan sampah. Setiap hari, sekitar 350–400 ton limbah menumpuk di wilayah seluas 118,2 kilometer persegi yang terletak di dataran rendah di antara Sungai Kapuas dan Sungai Landak.

Masalah ini mengemuka dalam Dialog Interaktif “Urgensi Pengolahan Sampah di Kalbar dan Kontribusi Pemuda sebagai Agen Perubahan”, yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa Politeknik Negeri Pontianak (Polnep) di Kedai Kopi Rumangsa, Minggu (8/6) sore.

Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono, yang hadir sebagai narasumber, menegaskan bahwa lonjakan populasi dan aktivitas perkotaan mempercepat produksi sampah.

“Jika tidak ditangani serius, persoalan ini akan menjadi bom waktu,” ujarnya.

Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah kota menyiapkan Pusat Pengelolaan Sampah Terpadu yang akan mulai dibangun pada 2026.

“Fasilitas ini dirancang mengolah sampah organik menjadi kompos dan gas metana, sementara plastik serta limbah anorganik lain diubah menjadi bahan bangunan atau bahan bakar alternatif semacam biomassa,” tuturnya.

Meski teknologi pengolahan sudah disiapkan, Edi menekankan bahwa perubahan perilaku tetap menjadi faktor penentu. Ia meminta mahasiswa menjadi penggerak edukasi memilah sampah sejak rumah tangga, mengurangi plastik sekali pakai, dan memanfaatkan bank sampah.

“Teknologi tidak akan berarti kalau masyarakat masih membuang sampah sembarangan,” kata Edi.

Pemerintah Kota Pontianak, tambahnya, terbuka bekerja sama dengan organisasi kepemudaan untuk program daur ulang, kampanye pengurangan plastik, serta pelatihan pengolahan sampah organik.

Dengan dukungan teknologi dan komitmen perubahan perilaku, Pontianak berharap dapat menekan dampak lingkungan sekaligus menjadikan pengelolaan sampah sebagai gerakan moral bagi generasi muda.

“Menjaga kota agar tetap bersih adalah tanggung jawab kita bersama, bukan hanya petugas kebersihan,” tutupnya.

Bagikan: