PONTIANAK – Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Kalimantan Barat mengadakan dialog interaktif bertajuk “Membedah Putusan MK: Pemisah Pemilu, Solusi atau Masalah Baru?” pada Sabtu, 5 Juli 2025, bertempat di Warkop Aming Podomoro.

Kegiatan ini menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang, mulai dari penyelenggara pemilu, akademisi, hingga praktisi hukum, sebagai bentuk upaya mengupas dampak dan implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah.

Empat pembicara utama turut hadir dalam forum tersebut, yakni Komisioner Bawaslu Kalbar Faisal Riza, Anggota KPU Kalbar Suryadi, Pegiat Politik Kalbar Dr. Syf. Ema Rahmaniah, serta Praktisi Hukum Kalbar Khairuddin Zacky.

Faisal Riza menyampaikan bahwa diskusi ini penting sebagai ruang edukasi publik mengenai dasar hukum, urgensi, dan konsekuensi dari putusan MK. “Kami ingin masyarakat memahami mengapa keputusan ini muncul, apa landasannya, dan bagaimana dampaknya ke depan,” jelasnya.

Sementara itu, Anggota KPU Kalbar Suryadi melihat putusan MK tersebut secara positif. Menurutnya, keputusan yang dibuat lebih awal memberi keleluasaan bagi penyelenggara pemilu dalam menyusun regulasi dan kesiapan teknis. “Pemisahan pemilu memberi waktu untuk menyusun aturan lebih matang agar tidak menimbulkan permasalahan saat pelaksanaan,” ujarnya.

Dr. Syf. Ema Rahmaniah menyoroti perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan ini. Ia menggarisbawahi empat isu utama: penguatan literasi pemilu, besarnya biaya politik, proses perekrutan penyelenggara pemilu, serta peran partai politik dalam mencerdaskan pemilih, khususnya dalam mendorong keterwakilan perempuan sebesar 30 persen.

Dari sisi hukum, Khairuddin Zacky menyampaikan rekomendasi strategis pasca putusan MK. Ia menekankan perlunya revisi cepat terhadap UU Pemilu dan Pilkada, pembentukan UU transisi yang mengatur posisi kepala daerah sementara (Pj), pengaturan sistem pemilu DPRD selama masa transisi, serta penyesuaian mekanisme pembiayaan penyelenggaraan.

“Perlu ada sinkronisasi antara ketentuan baru dan Pasal 22E UUD 1945 agar tidak terjadi ketidakkonsistenan hukum,” tegas Zacky. Ia juga mengingatkan bahwa penyusunan aturan transisi harus dijalankan dengan kehati-hatian, melibatkan publik dan partai politik, serta menjunjung prinsip judicial restraint demi menjaga legitimasi dan kualitas demokrasi.

Di akhir acara, PMII Kalbar menegaskan bahwa dialog ini merupakan ruang strategis untuk mengkritisi sekaligus menyempurnakan arah reformasi pemilu di Indonesia. Mereka berharap kegiatan ini menjadi bentuk kontribusi nyata mahasiswa dalam menjaga marwah demokrasi bangsa.

Bagikan: