SURABAYA — Di tengah sorot lampu megah Grand City Surabaya, sekelompok penari dari Kota Pontianak tampil bak helaian benang yang menari di atas kain tradisi. Tarian Sulam Kalengkang bukan sekadar pertunjukan seni, melainkan sebuah narasi hidup yang menelusuri jejak budaya, harapan, dan identitas.

Dari gerak ke gerak, dari getar ke getar, Pontianak menyulam cerita hingga berhasil menorehkan prestasi sebagai Juara III Penampilan Terbaik dalam Indonesian International Arts Festival 2025.

Penghargaan diserahkan langsung oleh Direktur Eksekutif APEKSI, Alwis Rustam, kepada Iwan Amriady, Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Kota Pontianak. Sebuah penghargaan yang tak hanya bermakna simbolik, tetapi juga menjadi suntikan semangat bagi para pelaku seni di daerah.

Festival yang menjadi bagian dari Musyawarah Nasional (Munas) VII Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) ini mempertemukan 98 kota dari seluruh penjuru nusantara.

Namun, di antara gemerlap kreasi yang ditampilkan, Sulam Kalengkang dari Pontianak hadir sebagai penanda bahwa budaya tak hanya hidup di masa lalu, melainkan terus bernapas di masa kini.

“Ini adalah bukti bahwa kesenian dan budaya Pontianak mampu bersaing di kancah nasional,” ujar Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono, penuh bangga.

Wali Kota Edi Kamtono berharap pencapaian ini menjadi pemicu bagi pengembangan kesenian sekaligus promosi wisata.

“Ini bukan hanya sekadar prestasi di bidang kesenian, tetapi juga momentum untuk memperkenalkan potensi wisata dan budaya Kota Pontianak kepada masyarakat luas,” katanya.

Wasis, Koordinator Tim Kesenian Kota Pontianak, menceritakan tarian ini dibawakan oleh 10 penari, diiringi 7 pemusik dan seorang penyanyi, Sulam Kalengkang bukanlah tarian biasa.

“Ia adalah puisi tubuh, yang merajut proses kreatif seorang penyulam di atas Pengidang; kain yang menjadi ruang pertemuan antara imajinasi dan warisan leluhur,” jelas dia.

Dia mengatakan gerakan-gerakan seperti Tahto dan Langkah Nyulam bukan hanya indah secara visual, tetapi juga sarat simbol.

“Menggulung dan membentangkan kain menjadi metafora tentang harapan dan awal mula penciptaan,” ucapnya.

Setiap langkah yang ditorehkan penari adalah benang yang menghubungkan Pontianak masa lalu, dengan masa depan yang ingin dijaga melalui budaya.

“Ini adalah bentuk penyulaman identitas budaya dalam lintasan ruang dan waktu,” tutur Wasis dengan mata berbinar.

Dia melanjutkan, tarian Sulam Kalengkang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB). Ia lahir dari tradisi Melayu, namun menjelma menjadi bahasa universal yang mampu menyentuh siapa saja yang menyaksikannya.

“Pada puncak pertunjukan, ketika para penari menyatu dalam gerak Kalengkang—simbol keterikatan antara masa lalu, kini, dan esok—penonton seakan diajak merenung: bahwa budaya bukan sekadar tontonan, melainkan bagian dari jati diri yang mesti dirawat bersama,” pungkasnya.

Sebagai penutup tarian, para penari menundukkan kepala dalam salam penghormatan. Gerak sederhana itu menjadi tanda dari satu hal yang tak pernah lekang oleh waktu: dedikasi. Dan lewat Sulam Kalengkang, Pontianak telah menorehkan kisah: bahwa dalam setiap gerak, terselip ruh warisan, dan dalam setiap tarian, Pontianak terus menari di hati Indonesia.

Bagikan: